Rabu, 23 November 2011

Artikel Agama

Empat Perkara Sulit

KH Mahfudz Hudlori
Menurut Sayyidina Ali ibn Abu Thalib RA, ada empat perkara yang sangat sulit untuk dilakukan:
Pertama, memberi maaf di kala marah.
Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA, pernah marah besar setelah tahu bahwa salah seorang penebar fitnah hadîtsul-ifki (gosip) yang mencoreng kesucian putri beliau Aisyah RA adalah tetangga dekatnya sendiri, bernama Mastoh.
Padahal, biaya hidup sehari-hari keluarga Mastoh banyak bergantung pada belas kasihan Abu Bakar. Bahkan sewa rumahnya pun tak jarang dibantu Abu Bakar. Pantas kalau Sahabat yang dikenal penyabar ini marah atas kelancangan Mastoh yang tega turut menyebarkan gosip mencemarkan nama dan kesucian putrinya. Saking marahnya, Abu Bakar bersumpah tak akan memberi bantuan apapun kepada Mastoh dan keluarganya.
Berkait dengan sumpah itu, maka turunlah firman Allah SWT yang langsung dibacakan Rasulullah SAW kepada Sahabat karibnya itu. “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.” (Qs. an-Nûr [24]: 22)
Abu Bakar tetap marah. Dahsyat kejengkelanya itu membuatnya enggan memaafkan. Dadanya sempit seakan dihimpit beban emosi yang tak terkira beratnya. Lalu Rasulullah melanjutkan pesan Allah dalam lanjutan ayat itu: “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maka tersentuh Abu Bakar dengan tawaran ampunan Allah yang Rasulullah kemukakan. Dan dengan sigap Abu Bakar menjawab: “Ya, kami sangat ingin memperoleh ampunan-Nya!” Dan Abu Bakar pun memaafkan kesalahan Mastoh.
Kedua, memberi di kala fakir.
Di saat berlebihan harta, mungkin semua orang bisa memberi. Tapi di kala fakir, tak semua orang bisa melakukannya.
Dalam kondisi fakir, sifat yang banyak berjangkit adalah kikir. Kecuali kasih ibu kepada anaknya. Seperti diceritakan dalam sebuah hadits, seorang pengemis wanita datang ke rumah Rasulullah sambil menggendong dua anaknya.
Dengan wajah memelas ia julurkan tangan meminta belas kasih dari keluarga Nabi SAW. “Berilah kami. Rasa lapar sungguh sudah lama mendera kami,” pinta wanita itu.
Tersentuh suara pengemis itu, Aisyah tergopoh mencari makanan di dapur. Tapi ia hanya dapatkan lima butir kurma. Tiga butir ia berikan kepada si pengemis, dan dua butir ia sisakan. Pengemis itu memberi satu butir untuk anaknya sebelah kanan, dan sebutir lagi untuk yang di sebelah kiri.
Kedua anak itu menyantap dengan lahap. Ketika sang ibu hendak menyantap sisa sebutir kurma di tangan, kedua anaknya saling berebut kurma itu. Sang ibu yang fakir pun tak jadi makan. Ia potong kurma satu-satunya itu menjadi dua, sebelah untuk anak yang di kanan dan sebelah untuk yang di kiri.
Sejurus kemudian, Rasulullah tiba. Dan Aisyah menceritakan ihwal pengemis tadi. “Betapa mulia kasih wanita itu kepada kedua anaknya. Masing-masing sudah diberi satu butir kurma. Tinggal satu untuk dirinya. Mulut sudah siap menyantap, ia malah urung karena anak-anaknya merebut. Ia belah menjadi dua dan diberikan kepada kedua anaknya,” cerita Aisyah. Mendengar penuturan itu, Rasulullah menitikkan air mata seraya bersabda, “Wanita itu calon penghuni surga.”
Ketiga, berjiwa iffah di kala berduaan dengan lawan jenis.
Betapa bergeloranya gelombang syahwat pemuda Yusuf AS kala diberi kesempatan oleh wanita cantik, Zulaikha untuk melayaninya. “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai ia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yûsuf [12]: 24)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf memiliki hasrat buruk terhadap Zulaikha. Tapi godaan yang sangat besar, rentan membawa beliau jatuh ke dalam kemaksiatan, andai ia tidak dikuatkan oleh keimanan kepada Allah.
Itulah jiwa iffah. Berupa rem batin yang dapat mencegah fisik untuk tidak melabrak larangan Allah. Sebagai manusia, Nabi Yusuf tidaklah kosong dari nafsu. Ia berkata, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
Berjiwa iffah dalam suasana pergaulan laki-perempuan yang tidak bersekat, sungguh amat berat. Apalagi di zaman sekarang yang telah kian massif pergaulan bebas, kebinalan nafsu yang bisa diumbar di semak-semak. Budaya sepuas-puasnya ini begitu mudah didapat, semurah permen karet yang murah dan bisa di kunyah kapan dan di mana saja. Na’udzubillâh.
Beruntunglah pemuda Yusuf yang tergolong manusia dengan nafsu yang dirahmati Allah. Dan jadilah ia manusia pilihan-Nya.
Ketiga, berkata benar kepada penguasa yang lalim.
Seperti yang dialami Nabi Ibrahim AS, saat menghadap raja Namruz sang lalim. Ibrahim menanggung risiko hukuman dibakar hidup-hidup, atau berkata “benar” kepada orang yang diharapkan perlindungannya itu.
Begitu pula yang dilakukan paman Rasulullah SAW, Abu Thalib saat didatangi beberapa utusan masyarakat Makkah yang menawarkan tiga pilihan menggiurkan: memberi kekayaan sebanyak-banyak untuk keponakannya itu jika beliau mau menghentikan dakwahnya. Atau, siap menobatkan beliau sebagai raja, jika memang itu keinginan beliau. Atau menghadiahinya wanita tercantik asalkan mau berhenti berdakwah.
Abu Thalib menyampaikan tawaran itu kepada Rasulullah yang beliau jawab, ”Demi Allah wahai pamanku. Kalau saja mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan misi dakwah ini, tidaklah akan aku lakukan, sampai Allah menampakkan keagungan agama ini, atau aku mati karena membelanya.”
Abu Thalib sangat terkagum dengan keberanian keponakannya itu. Lantas ia memberi semangat, ”Teruskan langkahmu, wahai anak saudaraku. Katakan apa yang kau suka. Demi tuhan, aku tak akan pernah absen sedikitpun membelamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar